Garut dan Orang-Orang Baik

Senadipayanas
2 min readMay 25, 2022

--

Jika kalian bisa memilih ingin berada di lingkungan seperti apa, mungkin berada di sekitar orang-orang baik adalah salah satu pilihan yang membahagiakan.

Kecamatan Limbangan adalah tempat pertama saya menginjakan kaki di Garut pada akhir tahun 2020, tepatnya di desa Surabaya. Ketika datang di desa tersebut yang saya pikirkan pertama kali adalah penginapan, kosan, kontrakan, entah apapun itu yang penting bisa jadi tempat tidur sementara. Sayangnya tidak ada kontrakan, apalagi kosan. Ya, saya yang salah, berharap ada kosan di desa yang jauh dari keramaian dan posisinya hampir berbatasan dengan kabupaten Sumedang bagian selatan.

Singkat cerita, saya diantar oleh Pak Rw ke rumahnya Abah Undang, katanya, rumah beliau pernah disewa Mahasiswa yang KKN. Sesampainya, di rumah Abah Undang, saya disambut dengan baik. “Upami, Aa, kersa di dieu sareng Abah mah nya mangga, mung bumi Abah mah sakieu ayana, saung butut”, kurang lebih begitu kata Abah Undang kepada saya. Merendah, seperti orang Sunda kebanyakan. Rumah Abah Undang sangat luas, tapi bangunannya sudah tua. Suasana nya sepi, tapi nyaman. Ya, saya akhirnya memilih tinggal di rumah Abah Undang, dan rumah itu jadi tempat tinggal saya selama setahun di Garut.

Selama setahun saya jadi tahu banyak tentang Abah Undang. Dulunya Abah seorang pedagang keliling, pernah jualan es cingcau jalan kaki dari Subang sampai ke Purwakarta, pernah jualan gorden jalan kaki dari Ciamis ke Majalengka, jualan cuanki di Bandung, dan pernah juga jualan buah-buahan. Karena umur yang sudah tidak memungkinkan lagi untuk berjualan, Abah memilih bertani untuk menikmati masa tuanya. Oh iya, hobi Abah itu memancing, kebetulan tidak jauh dari rumah ada aliran sungai Cimanuk.

Abah ini hatinya lembut, sering menangis, ketika saya pergi untuk pulang ke Majalengka, dan Abah ini tak pernah berhenti mendoakan saya. Terakhir kali saya mengambil barang dari rumahnya untuk pindah ke tempat tugas yang baru, Abah menangis sesenggukan, “Geus lain dianggap batur, A, geus asa ka anak sorangan”, ingin rasanya air mata ikut keluar, tapi rasa malu mengalahkannya.

Tak hanya Abah Undang, masyarakat di sana sangat ramah, dan menerima saya dengan baik. Ada yang saya sangat ingat dari tetangga yang cerita, kalau Abah Undang itu orang baik, tapi tak mau keliatan baik. Abah seringkali pergi ke kebun jam dua malam, dan pulang dengan membawa hasil panen yang telah dibungkus dengan keresek. Lalu, keresek berisi hasil panen itu Abah gantung di pintu-pintu rumah tetangganya.

Terakhir, Abah Undang ini pendengarannya sedikit terganggu, jadi ketika mengobrol saya harus agak menaikan nada suara, kadang seperti orang marah. Tapi, Abah tidak pernah menyangka saya marah.

Setahun berlalu saya dipindah tugaskan ke daerah lain, masih di kabupaten Garut, namun jaraknya cukup jauh bagi saya, bagi orang Garut itu masih “caket, sakedap deui”.

Garut telah banyak mengajarkan banyak hal pada saya, maaf saya tidak bisa memberikan apa-apa. Terima kasih Garut, dan orang-orang baik yang tidak bisa saya sebutkan satu-persatu!

Sign up to discover human stories that deepen your understanding of the world.

Free

Distraction-free reading. No ads.

Organize your knowledge with lists and highlights.

Tell your story. Find your audience.

Membership

Read member-only stories

Support writers you read most

Earn money for your writing

Listen to audio narrations

Read offline with the Medium app

--

--

No responses yet

Write a response